ISLAMIC
INVASION
Confronting the World's
Fastest Growing Religion

appendiks b

APPENDIX B


Dewa Bulan dan Arkeologi

Sebagaimana yang telah kita pelajari, agama Islam berpusat pada penyembahan keilahian yang bernama “Allah.”
Muslim mengklaim, pada zaman pra-Islam pun, Tuhannya Alkitab adalah Allah itulah, yang selalu disembah secara berkesinambungan oleh para pemuka agama, nabi-nabi, dan para rasul yang terdapat dalam Alkitab.11.
   Ahmed Deedat, What Is His Name? (Durban, S.A.: IPCI, 1990).
   Deedat argues that “Allah” is a biblical name for God on the basis of “Allelujah” which he convolutes into “Allah-lujah” (p.37). This only reveals that he does not understand Hebrew. This divine name is the “jah” preceded by the verb “to praie.” His other “biblical” arguments are equally absurd.
   He also claims that the word “Allah” was never corrupted by paganism. “Allah is a unique word for the only God...you cannot make a feminine of Allah” (p.32). He does not tell his readers that one Allah’s daughters was named “Al-Lat,” which is the feminine form of “Allah.”

Umat Islam mengakui pentingnya suatu kontinuitas dalam usaha mereka untuk membawa umat Yahudi dan Kristen masuk Islam.
Jikalau “Allah” betul merupakan keterusan dari pewahyuan ilahi di dalam Alkitab, tentunya juga agama Islam merupakan agama dari kelanjutannya Alkitab. Jadi, kita semua seharusnya menjadi orang Muslim.
Namun, sebaliknya, jika “Allah” ternyata adalah nama dewa kafir pra-Islam, maka pokok pengakuan umat Muslim tersebut otomatis salah kaprah.

Pengakuan-pengakuan religius sering tidak dapat dipertahankan akibat bukti-bukti arkeologi. Maka, dari pada berspekulasi yang tidak juntrung mengenai masa lalu, lebih baik kita merujuk pada ilmu pengetahuan untuk mencari bukti-bukti yang dapat mengungkapkan kebenarannya.

Sebagaimana yang akan kita lihat, dari bukti-bukti keras yang ada, menunjukkan bahwa Allah adalah dewa pagan. Allah adalah dewa-bulan yang kawin dengan dewi-matahari. Bintang-bintang adalah anak-anak perempuan mereka.
Para arkeolog telah mengungkapkan berbagai tempat pemujaan dewa bulan yang terdapat di seluruh Timut Tengah. Mulai dari gunung di Turki sampai ke tepi pantai sungai Nil, agama zaman kuno yang paling luas penyebarannya adalah agama yang menyembah dewa-bulan.

Suku Sumerian, komunitas pertama yang mengenal peradaban tulis-menulis, telah mewariskan ribuan lempengan tanah liat yang mendeskripsikan kepercayaan keagamaan mereka.
Seperti ditunjukkan oleh Sjoberg dan Hall, suku kuno Sumerian menyembah dewa bulan yang dinamai dengan banyak nama. Nama paling populer adalah: Nanna, Suen, dan Asimbabbar.22.
   Mark Hall, A Study of the Sumerican Moon-god, Nanna/Suen, Ph.D., 1985, University of PA.
Simbolnya adalah bulan sabit.

Dengan begitu banyak ditemukan artifak-artifak kuno berkaitan dengan penyembahan dewa-bulan, maka ini adalah agama dominan yang terdapat di Sumerian.
Mazhab penyembahan dewa-bulan adalah agama paling populer di seluruh Mesopotamia kuno. Kaum Assyria, Babylonia, dan Akkadia mengadopsi kata SUEN dan mentransformasikannya ke dalam kata SIN sebagai nama favorit bagi dewa ini.33.
   Austin Potts, The Hymns and Prayers to the Moon-god, Sin, Ph.D., 1971, Dropsie College, p. 2.

The Babylonian Moon-god

Prof Potts mengutarakan, “Sin adalah sebuah nama yang berasal-usul dari kaum Sumerian yang telah dipinjam (dipakai) oleh kaum Semit.”44.
   Ibid., p. 4.

Pada masa Syria dan Canna kuno, dewa-bulan Sin umumnya dilambangkan oleh bulan yang sabit. Pada waktu tertentu, symbol bulan-purnama diletakkan di dalam bulan-sabit demi menekankan semua masa peredaran bulan.
Dewi matahari adalah istri dari Sin dan bintang-bintang adalah putri-putri mereka. Sebagai missal, ISTAR adalah salah satu putri dari Sin.55.
   Ibid., p. 7.

Pengorbanan-pengorbanan kepada dewa-bulan tertera dalam teks Ras Shamra. Dalam teks Ugarit, dewa-bulan kadang disebut Kusuh.
Dalam Persia atau Mesir, dewa-bulan digambarkan pada dinding-dinding batu dan pada kepala-kepala patung. Dewa-bulan ini adalah hakim atas manusia dan dewa-dewa lain.

Stele from Ras Shamra, North Syria

Sesungguhnyalah di mana-mana di dunia purba ini, symbol dari bulan-sabit dapat ditemui pada bekas cap-cap, keramik, ornamen-ornamen penangkis bala, lempengan tanah liat, silinder-silinder, alat timbangan, kalung, dinding-dinding batu untuk melukis, dsb.
Dalam Tellel-Obeid, anak lembu tembaga yang ditemukan dengan tanda bulan sabit di atas kepalanya. Ada pula satu dewa berbadan kerbau dan berkepala manusia mempunyai bulan sabit tertera di keningnya dengan kulit kerang.

Di tanah Ur, Stela dari Ur-Nammu mempunyai symbol bulan-sabit yang diletakkan di atas dewa-dewa lain karena dewa-bulan itulah kepalanya para dewa. Bahkan roti-roti dibakar dalam bentuk bulan sabit sebagai tanda pengabdian mereka terhadap dewa-bulan.66.
   Ibid., pp. 14-21.
Orang-orang kota Ur di wilayah Chaldea (catatan dari penerjemah: Ur adalah nama sebuah kota Sumerian Kuno; wilayah Chaldea adalah wilayah yang meliputi dataran rendah Tigris dan lembah Efrata. Kalau melihat peta sekarang letaknya di Irak Selatan) sangat setia beribadah kepada dewa bulan sehingga menurut prasasti yang ada pada zaman itu, kota tersebut kadang-kadang dinamakan Nannar.

An Egyptan monolith

Dari hasil penggalian di kota Ur yang dilakukan oleh Sir Leonard Wooley ditemukan sebuah kuil untuk pemujaan dewa bulan. Dia menggali dan menemukan banyak bukti mengenai penyembahan bulan yang sekarang disimpan untuk dipamerkan di Museum Inggris.
Demikian juga Harran dicatat karena kesetiaan beribadahnya pada dewa bulan. Pada tahun 1950-an tempat pemujaan dewa bulan yang utama ditemukan dalam suatu penggalian di Hazor, Palestina (lihat peta 1)

Dua berhala dewa bulan juga ditemukan. Masing-masing berupa patung laki-laki yang duduk di atas tahta dengan ukiran bulan sabit di dadanya (lihat diagram 1).

Diagram #1
The Moon-god from all four sides. Note the crescent moon carved on his chest.
Two such idols were found at the site.

Prasasti-prasasti yang menyertainya memperjelas benda tersebut memang benar berhala-berhala dewa bulan (lihat diagram 2 dan 3).

Diagram #2
Note the Moon-god idol on the left and the worship
tablets in front of the altar lying flat on the ground.

Diagram #3
A worship tablet, arms outstretched toward the Moon-god here represented by the full moon within the crescent moon.

Juga ditemukan beberapa patung lebih kecil yang diidentifikasikan oleh prasastinya sebagai anak-anak perempuan dewa bulan (lihat diagram 4).77.
   Yigal, Yadin, Hazor (New York: Random House, 1975; London: Oxford, 1972; Jerusalem: Magnes, 1958.)

Diagram #4
Pieces of the idols of the daughters of the Moon-god.
The inscription identifies them as “daughters of god.”


Bagaimana mengenai Arabia?
Sebagaimana diungkapkan Prof Coon, “Para Muslim amat alergi memelihara/mempertahankan tradisi kekafiran tempo dulu karenanya mereka berdalih dengan memutarbalikkan fakta sejarah pra-Islam dengan menempatkan tokoh-tokoh atau hal-hal yang tidak sesuai dengan waktu dan tempat terjadinya peristiwa yang sesungguhnya (anachronistic).88.
   Carleton S. Coon, Southern Arabia (Washington, D.C.: Smithsonian, 1944), p. 398.
Selama abad ke-19, Arnaud, Halevy, dan Glaser pergi ke Arabia sebelah selatan, dan menggali ribuan prasasti Sabian, Minaean, dan Qatabanian yang diterjemahkan mereka (lihat peta 2).

Pada tahun 1940-an, dua orang ahli arkeologi yang bernama G. Caton Thompson dan Carleton S. Coon menemukan prasasti yang luar biasa di Arabia.
Selama tahun 1950-an, Wendell Phillips, W.E Albright, Richard Bower, dan lain-lain menggali beberapa tempat peninggalan zaman kuno yang terdapat di Qataban, Timna, dan Marib (ibukota Sheba kuno).

Ribuan prasasti yang tertulis pada tembok-tembok dan batu-batu karang di Arabia bagian utara juga berhasil dikumpulkan. Relief-relief (gambar-gambar timbul) dan mangkuk-mangkuk persembahan dalam pemujaan kepada “para puteri Allah” juga telah ditemukan.
Ketiga puteri Allah yaitu Al-Lata, Al-Uzza, dan Manat kadang digambarkan bersama-sama dengan Allah, dewa bulan, yang ditandai dengan gambar bulan sabit di atas gambar mereka.99.
   North Arabian Archeological find concerning Al-Lat are discussed in: Isaac Rabinowitz, “Aramaic Inscriptions of the Fifth Century” (JNEX, XV [1956], 1-9); “Another Aramaic Record of the North Arabian goddess Han’Llat” (JNES, XVIII [1959], 154-55).
   Edward Linski, “The goddes Atirat in Ancient Arabia, in Babylon and in Ugarit: Her Relation to the Moon-god and the Sungoddess” (Orientalia Lovaniensia Periodica, 3; 101-09).
   H.J. Drijvers, “Iconography and Character of the Arab goddess Allat,“ found in Etudes Preliminaries Aux Religions Orientales Dans L’Empire Roman (ed. By Maarten J. Verseren [Leiden: Brill, 1978], pp. 331-51).

Bukti-bukti arkeologi mengungkapkan bahwa agama yang paling dominan di Arabia adalah agama yang melaksanakan tata cara ibadah pemujaan dewa bulan.
Namun, Alkitab Perjanjian Lama justru secara konstan melarang penyembahan terhadap dewa bulan (lihat contoh ayat-ayat Alkitab yang berikut ini: Ulangan 4:19; Ulangan 17:3; 2 Raja-Raja 21:3, 5; 2 Raja-Raja 23:5; Yeremia 8:2; Yeremia 19:13; Zefanya 1:5).

Pada waktu umat Israel jatuh dalam dosa penyembahan berhala, biasanya yang mereka lakukan adalah upacara ibadah/penyembahan kepada dewa bulan.
Pada masa Perjanjian Lama, Nabonidus (555-539 sebelum Masehi), raja terakhir dari Babilonia, membangun Tayma, di Arabia, sebagai pusat penyembahan dewa bulan.

Segall menyatakan, “agama penyembah benda-benda angkasa yang dianut masyarakat Arabia Selatan selalu didominasi penyembahan kepada dewa bulan dengan berbagai variasinya.”1010.
   Berta Segall, “The Iconography of Cosmic Kingship” (The Art Bulletin, vol. Xxxviii, 1956), p. 77.
Banyak ilmuwan juga mengamati bahwa nama dewa bulan, “Sin,” adalah bagian dari kata Arab seperti “Sinai,” “padang belantara Sin,” dan seterusnya.

Ketika kepopuleran dewa bulan mulai sirna di tempat-tempat lain, namun orang-orang Arab tetap mempertahankan keyakinan mereka bahwa dewa bulan adalah dewa yang terbesar di antara semua dewa.
Ketika mereka menyembah 360 dewa baal yang ada di Kaabah, Mekah, dewa bulan merupakan dewa kepala.
Sesungguhnya Mekah dibangun sebagai tempat suci (kuil) bagi dewa bulan. Itulah sebabnya Mekah (bukannya tempat-tempat lain) disebut sebagai tempat paling suci menurut kepercayaan paganisme Arab.

Dalam tahun 1944, G. Caton Thompson mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul The Tombs and Moon Temple of Hureidha, bahwa dia telah menemukan tempat pemujaan dewa bulan di Arabia bagian selatan (lihat Peta 3).
Simbol-simbol bulan sabit serta tidak kurang dari 21 prasasti dengan nama “Sin” juga ditemukan di tempat pemujaan tersebut (lihat diagram 5).1111.
   G. Caton Thompson, The Tombs and Moon Temple of Hureidha (Oxford: Oxford University Press, 1944).

Diagram #5
Arabian Temple – The name of the Moon-god is carved into stone.


Diagram #6
Arabian Temple – An idol of the Moon god.


Sebuah berhala yang kemungkinan besar adalah dewa bulan itu sendiri telah pula ditemukan (lihat diagram 6). Penemuan ini di kemudian hari juga dikonfirmasikan oleh ahli-ahli arkeologi yang tersohor lain.1212.
   See Richard Le Baron Bower, Jr., and Frank P. Albright, Archeological Discoveries in South Arabia (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1958), p. 78ff.; Ray Cleveland, An Ancient Southern Arabian Necropolis (Baltimore: John Hopkins University Press, 1956); Nelson Gleuck, Deities and Dolphins (New York: Farrar, Strauss and Giroux, 1956).

Bukti-bukti mengungkapkan bahwa tempat pemujaan dewa bulan tetap aktif bahkan pada masa Kristen sedang berkembang pesat.

Bukti-bukti yang terkumpul baik dari Arab Utara maupun dari Arab selatan mengungkapkan bahwa penyembahan dewa bulan tetap aktif dilakukan oleh penganutnya bahkan pada zaman Muhammad, dan itu tetap merupakan upacara keagamaan yang dominan.
Menurut sejumlah besar prasasti, nama dewa bulan adalah “Sin,” sedangkan titelnya adalah al-ilah, “dewata,” yang artinya dewa paling utama dan paling tinggi dari semua dewa.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Coon, “Dewa Il atau Ilah asal mulanya adalah suatu fase dari dewa bulan.”1313.
   Coon, Southern Arabia, p. 399.

Dewa bulan disebut al-ilah, dewata, yang disingkat menjadi Allah pada zaman pra-Islam. Orang-orang Arab penyembah berhala bahkan menggunakan nama Allah untuk menamai anak-anak mereka.
Contohnya, baik ayah maupun paman Muhammad menggunakan nama Allah sebagai bagian dari nama mereka. (sang ayah, bernama Abdullah = abdi Allah; sang paman, Obied Allah, tidak pernah masuk Islam).

Begitulah kenyataan pada zaman Muhammad, yang membuktikan bahwa Allah merupakan title dari dewa bulan.
Professir Coon mengatakan, “sama seperti halnya di atas, menurut pengajaran Muhammad, IIah yang praktis tidak bernama, dijadikan Al-Ilah, Tuhan, atau Allah yang Maha Tinggi.”1414.
   Ibid.
Dengan fakta tersebut di atas terjawablah pertanyaan,

“Mengapa Alquran tidak pernah mendefinisikan pengertian ‘Allah’ kepada pengikut-pengikutnya? Mengapa Muhammad mengasumsikan bahwa orang-orang Arab penyembah berhala sudah tahu siapa Allah itu? [ dari mana datangnya perubahan nama Yahweh mendadak menjadi Allah? ]

Muhammad memang dibesarkan dalam lingkungan agama yang menyembah dewa bulan yang dinamakan Allah, namun dia selangkah lebih maju daripada orang-orang Arab penyembah berhala lainnya.
Sementara mereka percaya bahwa Allah (maksudnya dewa bulan) adalah yang paling utama, paling besar dibandingkan dengan semua dewa-dewa lain dan merupakan dewa yang termulia di dalam kuil pemujaan, Muhammad memutuskan bahwa Allah bukan saja maha besar tetapi juga satu-satunya Tuhan.
Dengan imajinasi tinggi, Muhammad seolah berkata,

“Lihat, kamu telah mengimani bahwa dewa bulan Allah merupakan dewa yang terbesar. Jadi, yang saya inginkan, kamu sependapat bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Saya tidak meniadakan Allah yang sejak dulu kamu sembah itu. Saya hanya akan meniadakan istrinya (yang dimaksud adalah dewi matahari) dan anak-anak perempuan Allah dan saya juga akan meniadakan semua dewa-dewa lain.”

Perihal ini dapat jelas dilihat pada slogan Islam ALLAHU AKBAR, yang arti sebenarnya bukanlah sebagaimana umum diterjemahkan “Allah Maha Besar” atau “Allah yang Terbesar,” melainkan secara harfiah berarti “Allah Yang Lebih Besar.”
Dia yang lebih tertinggi di antara semua dewa-dewa.
Tak ada alasan lain lagi mengapa Muhammad menyatakan “Allah Terbesar/Lebih Besar” selain karena adanya konteks politheistik yang menunjukkan kepercayaan pada banyak dewa yang telah diimani oleh orang-orang sebelumnya.
Kata Arab ini digunakan untuk mengkontraskan “lebih besar” dari “lebih kecil.”

Bahwa hal tersebut dapat dibenarkan terlihat dari kenyataan pada orang-orang Arab penyembah berhala yang tidak pernah menuduh Muhammad mengajarkan tentang sosok Allah yang berbeda dengan sosok Allah yang telah mereka sembah sebelumnya.
“Allah,” inilah adalah dewa bulan seperti yang dapat disaksikan dari bukti-bukti arkeologi yang telah ditemukan.

Jadi, Muhammad berusaha ke kanan dan ke kiri sekali jalan.
Kepada para penyembah berhala, dia berkata dia masih percaya pada dewa bulan yang bernama Allah dan kepada umat Yahudi dan Kristen, dia berkata, “Allah adalah Tuhan kalian juga”.
Sayang, umat Yahudi dan umat Kristen lebih tahu, mereka tegas menolak Allah-nya Muhammad sebagai Tuhan yang palsu.

Al-Kindi, salah satu dari pembela Kristen mula-mula (terdahulu) menyatakan bahwa Islam dan tuhannya yang disebut Allah bukanlah berasal dari Alkitab, tetapi dari para penyembah berhala suku-suku Sabian.
Orang-orang Sabian tidak menyembah Yahweh (Tuhan Alkitabiah) tetapi mereka menyembah dewa bulan dan puteri-puterinya yang bernama Al-Lata, Al-Uzza, dan Manat.1515.
   Three Early Christian-Muslim Debates (ed. By N.A. Newman [Hatfield, PA: I.B.R.I., 1994], pp. 357, 413, 426).

Dr. Newman, dari hasil studi perdebatan Kristen-Muslim terdahulu menyimpulkan bahwa:
“Islam membuktikan dirinya sendiri sebagai sebuah agama terpisah dan antagonistic yang muncul dari penyembahan berhala.”1616.
   Ibid., p. 719.

Ilmuwan kajian Islam, bernama Caesar Farah menyimpulkan:
“Oleh karenanya tidak ada alasan untuk menerima ide/ pendapat bahwa Allah umat Muslim adalah Tuhan yang sama dengan Tuhannya umat Kristen dan Yahudi.”1717.
   Caesar Farah, Islam: Beliefs and Observations (New York: Barrons, 1987), p. 28.

Orang-orang Arab menyembah dewa bulan sebagai dewa yang maha tinggi. Tetapi hal tersebut tidak sama dengan yang dimaksud menurut Alkitab.
Ketika dewa bulan (Allah) dinyatakan sebagai dewa yang terbesar dari segala dewa dan dewi yang ada, Allah ini masih berkonsepkan politheistik dewa-dewa lain di tengah-tengah dewa bulan.
Sekarang kita telah menemukan berhala-berhala dewa bulan yang aslinya, jadi tidak disangkal lagi Allah adalah dewa pagan (kafir) yang telah disembah sejak zaman pra-Islam.

Dengan demikian, tidaklah mengherankan jikalau: Symbol Islam adalah bulan sabit;
  • Bulan sabit terletak di puncak-puncak masjid dan menara azan;
  • Bulan sabit digambarkan pada bendera-bendera negara Islam;
  • Umat Muslim berpuasa pada bulan yang berawal dan berakhir dengan munculnya bulan sabit di langit.

[ Di manapun, ritus-ritus, upacara-upacara, nama dan symbol-simbol ilah (bulan-bintang) tidak pernah muncul dari ajaran Taurat dan Injil. Itu merupakan kekejian di hadapan TUHAN YAHWEH;
“…jangan engkau mengarahkan matamu ke langit, sehingga ketika engkau melihat, bulan dan bintang, segenap tentara di langit, engkau disesatkan untuk menyembah dan beribadah kepada sekaliannya itu, yang justru diberikan YAHWEH, Elohim-mu, kepada segala bangsa di seluruh kolong langit sebagai bagian mereka.” (Ulangan 4:19) ]

Kesimpulan

Orang-orang Arab pagan menyembah dewa bulan yang dinamakan Allah dengan cara sembahyang menghadap ke Mekah beberapa kali sehari; mereka melakukan beribadah ziarah ke Mekah; berlari-lari mengelilingi tempat pemujaan dewa bulan yang dinamakan Kaabah; mencium batu hitam; menyembelih hewan untuk dikorbankan kepada dewa bulan; melempari setan (roh-roh jahat) dengan batu; berpuasa pada bulan-bulan yang berawal dan berakhir dengan kemunculan bulan sabit; memberi sedekah kepada orang miskin; dan lain-lain.

Pernyataan umat Muslim bahwa Allah adalah Tuhan Alkitabiah dan bahwa Islam adalah kelanjutan dari agama yang dianut oleh para nabi dan para rasul Alkitabiah adalah tidak benar menurut bukti-bukti arkeologi yang telah ditemukan.

Islam tidak lain adalah kebangkitan kembali suatu tata cara ibadah keagamaan untuk menyembah dewa bulan zaman kuno.
Islam bahkan mengadopsi symbol-simbol, ritus-ritus keagamaan, upacara-upacara keagamaan, dan nama tuhannya (maksudnya nama sesembahan umat Islam) dari agama pagan (kafir) kuno yang sembah dewa bulan.
Hal-hal seperti itu merupakan penyembahan terhadap berhala yang merupakan hal yang sangat terlarang bagi umat yang mengikuti ajaran Taurat dan Injil.

[ ULAR TUA YANG CERDIK ITU MENYAMARKAN WAJAHNYA. BANYAK ORANG MENYANGKA, DIA ADALAH TUHAN ELOHIM.
ADA JALAN DISANGKA ORANG LURUS, TETAPI UJUNGNYA MENUJU MAUT. WASPADALAH KARENA DARI BUAHNYALAH KAMU AKAN MENGENAL MEREKA. DAPATKAH ORANG MEMETIK ANGGUR DARI SEMAK DURI? ]

Notes.
Appendix B – The Moon God and Archeology.
1
Ahmed Deedat, What Is His Name? (Durban, S.A.: IPCI, 1990). Deedat argues that “Allah” is a biblical name for God on the basis of “Allelujah” which he convolutes into “Allah-lujah” (p.37). This only reveals that he does not understand Hebrew. This divine name is the “jah” preceded by the verb “to praie.” His other “biblical” arguments are equally absurd. He also claims that the word “Allah” was never corrupted by paganism. “Allah is a unique word for the only God...you cannot make a feminine of Allah” (p.32). He does not tell his readers that one Allah’s daughters was named “Al-Lat,” which is the feminine form of “Allah.”
2
Mark Hall, A Study of the Sumerican Moon-god, Nanna/Suen, Ph.D., 1985, University of PA.
3
Austin Potts, The Hymns and Prayers to the Moon-god, Sin, Ph.D., 1971, Dropsie College, p. 2.
4
Ibid., p. 4.
5
Ibid., p. 7.
6
Ibid., pp. 14-21.
7
Yigal, Yadin, Hazor (New York: Random House, 1975; London: Oxford, 1972; Jerusalem: Magnes, 1958.)
8
Carleton S. Coon, Southern Arabia (Washington, D.C.: Smithsonian, 1944), p. 398.
9
North Arabian Archeological find concerning Al-Lat are discussed in: Isaac Rabinowitz, “Aramaic Inscriptions of the Fifth Century” (JNEX, XV [1956], 1-9); “Another Aramaic Record of the North Arabian goddess Han’Llat” (JNES, XVIII [1959], 154-55). Edward Linski, “The goddes Atirat in Ancient Arabia, in Babylon and in Ugarit: Her Relation to the Moon-god and the Sungoddess” (Orientalia Lovaniensia Periodica, 3; 101-09). H.J. Drijvers, “Iconography and Character of the Arab goddess Allat,“ found in Etudes Preliminaries Aux Religions Orientales Dans L’Empire Roman (ed. By Maarten J. Verseren [Leiden: Brill, 1978], pp. 331-51).
10
Berta Segall, “The Iconography of Cosmic Kingship” (The Art Bulletin, vol. Xxxviii, 1956), p. 77.
11
G. Caton Thompson, The Tombs and Moon Temple of Hureidha (Oxford: Oxford University Press, 1944).
12
See Richard Le Baron Bower, Jr., and Frank P. Albright, Archeological Discoveries in South Arabia (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1958), p. 78ff.; Ray Cleveland, An Ancient Southern Arabian Necropolis (Baltimore: John Hopkins University Press, 1956); Nelson Gleuck, Deities and Dolphins (New York: Farrar, Strauss and Giroux, 1956).
13
Coon, Southern Arabia, p. 399.
14
Ibid.
15
Three Early Christian-Muslim Debates (ed. By N.A. Newman [Hatfield, PA: I.B.R.I., 1994], pp. 357, 413, 426).
16
Ibid., p. 719.
17
Caesar Farah, Islam: Beliefs and Observations (New York: Barrons, 1987), p. 28.

Tidak ada komentar: